![]() |
sumber: internet |
Ada hal yang menarik pada tayangan Soegeng Sarjadi Forum di TVRI, Senin 14/5/2012. Sebab, tema yang diangkat adalah membahas mengenai Fenomena Perempuan Indonesia. Dalam Soegeng Sarjadi Forum tersebut, dihadirkan empat narasumber perempuan yang ahli dibidangnya masing – masing. Yakni : Dr.R. Siti Juhro, M.A (Peneliti Lipi), Dr.Hendri Saparini (Direktur Enconit), Prof.Dr.Dewi Fortuna Anwar (Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Politik), dan Marwah Daud Ibrahim (Presidium ICMI).
Acara ini dipandu oleh Soegeng Sarjadi dari Soegeng Sarjadi Syndicate. Pada kesempatan ini, pemandu mempersilahkan narasumber untuk memberikan argumennya mengenai tema di atas. Intisari yang dapat saya ambil, menurut Dr.R. Siti Juhro,M.A, bahwasanya saat ini perempuan Indonesia belum menemukan sosok idola atau role mode yang bisa dijadikan panutan atau teladan. Penting sekali untuk, menemukan idola. Sebab, semenjak era Kartini sebagai pelopor Emansipasi Wanita. Saat ini, di Indonesia belum ada perempuan yang dapat dijadikan panutan atau teladan. Di Myanmar kita mengenal sosok Aun San Suu Kyi yang mampu memberikan perlawanan terhadap junta militer disana. Atau seorang Margaret Thatcher yang berjuluk Iron Lady di Inggris. Bahkan ketenarannya mampu menginspirasi sineas hollywood untuk dibuatkan kisah perjuangan mereka lewat film.
Adanya role mode perempuan Indonesia sangatlah penting. Kenapa? Sebab, biasanya apa yang dilakukan oleh idola selalu diikuti oleh penggemarnya. Tetapi, perlu diingat idola bukanlah berhala. Kekuatan perempuan begitu vital perannya. Saat ini, perempuan Indonesia mencapai 118.010.413 (sensus penduduk 2010; BPS 2010). Jumlah yang besar ini, belum mampu menempatkan perempuan dalam kehidupan bernegara. Padahal, dalam SSF (Soegeng Sarjadi Forum), disebutkan bahwa saat ini sedang dicari perempuan yang dapat membangun Bangsa.
Masih termarjinalkannya kaum perempuan tentu saja menjadi –pr besar bagi keberlangsungan kekuatan perempuan. Ukuran tersebut bias dilihat dari keberadaan perempuan di parlemen. Di DPR ada 30% perempuan, sesuai dengan UU Nomor 10/2008 serta UU Nomor 2/2008 tentang parpol untuk memenuhi kuota 30 % bagi perempuan dalam berpolitik.
Saya coba menyimpulkan pendapat Prof.Dr.Dewi Fortuna Anwar, bahwa pria dan wanita itu sama, dan Gap yang terjadi antara laki – laki dan perempuan sudah semakin sempit. Contoh, saat ini tamatan SMA, kebanyakan perempuan yang menjadi juara kelas. Maka diharapkan 10 tahun mendatang terjadi balance antara laki – laki dan perempuan. Pendapat Prof. Dr. Dewi, tentu saja memberikan spirit bahwa kekuatan perempuan suatu saat akan lahir. Sebab keberadan perempuan sebagai pembaharu yakni mengganjilkan dan menggenapkan sesuatu, bukan sebagai trouble maker. Akan tetapi, pada kenyataanya tetap saja perempuan masih dipandang sebelah mata.
Kebangkitan nasional dalam genggaman perempuan
20 Mei yang sedianya diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Sebaiknya dijadikan momentum kebangkitan perempuan. Jika dulu, 20 Mei 1908, Budi Oetomo menjadi embrio dari bangkitnya nasionalisme. Kemudian disempurnakan 20 tahun kemudian tepatnya, 28 Oktober 1928 lewat sumpah pemuda yang melahirkan,semangat nasionalisme. Dan Puncaknya saat proklamasi 17 Agustus 1945 yang mengakar kuat sebagai hari Kemerdekaan Indonesia.
Tidak ada salahnya, bagi perempuan untuk bangkit dari keterpurukan. Bahu – membahu dengan para lelaki untuk mengatasi masalah bangsa yang sudah berada di titik nadir. Dikutip dari (Saskia E.Wieranga,2010), Kaum perempuan maju ke depan lebih dulu daripada mahasiswa. Demonstrasi pertama mereka terhadap Soeharto dilakukan pada 23 Februari 1998 ketika mereka menuntut penyediaan bahan pangan yang mampu dibeli.(Indonesian Observer 8 Maret 1999).
Kutipan diatas adalah salah satu dari kekuatan perempuan yang sedianya diperjuangkan terus menerus demi menegakan kebenaran. Laki – laki dan perempuan Indonesia, saat ini menghadapi masalah bersama yakni: Korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang tidak layak. Dan sudah sepantasnya bersama – sama membangun bangsa Indonesia dengan semangat nasionalisme. Lepaskan atribut, Suku, Agama, Ras, Antar Golongan, dan ganti dengan atribut Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 alinea kedua berbunyi, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Harus dijadikan acuan bahwa ada cita – cita besar yang mesti diraih.
Maka, dengan perjuangan untuk menghancurkan berhala korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang tidak layak. Sesungguhnya Kita (Rakyat Indonesia) berhak mendapatkan kemakmuran yang seadil – adilnya dan berbahagia untuk satu tujuan kedaulatan Indonesia. Merdeka!*)
*)Penulis adalah mahasiswa Jurnallistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Semester IV.
Acara ini dipandu oleh Soegeng Sarjadi dari Soegeng Sarjadi Syndicate. Pada kesempatan ini, pemandu mempersilahkan narasumber untuk memberikan argumennya mengenai tema di atas. Intisari yang dapat saya ambil, menurut Dr.R. Siti Juhro,M.A, bahwasanya saat ini perempuan Indonesia belum menemukan sosok idola atau role mode yang bisa dijadikan panutan atau teladan. Penting sekali untuk, menemukan idola. Sebab, semenjak era Kartini sebagai pelopor Emansipasi Wanita. Saat ini, di Indonesia belum ada perempuan yang dapat dijadikan panutan atau teladan. Di Myanmar kita mengenal sosok Aun San Suu Kyi yang mampu memberikan perlawanan terhadap junta militer disana. Atau seorang Margaret Thatcher yang berjuluk Iron Lady di Inggris. Bahkan ketenarannya mampu menginspirasi sineas hollywood untuk dibuatkan kisah perjuangan mereka lewat film.
Adanya role mode perempuan Indonesia sangatlah penting. Kenapa? Sebab, biasanya apa yang dilakukan oleh idola selalu diikuti oleh penggemarnya. Tetapi, perlu diingat idola bukanlah berhala. Kekuatan perempuan begitu vital perannya. Saat ini, perempuan Indonesia mencapai 118.010.413 (sensus penduduk 2010; BPS 2010). Jumlah yang besar ini, belum mampu menempatkan perempuan dalam kehidupan bernegara. Padahal, dalam SSF (Soegeng Sarjadi Forum), disebutkan bahwa saat ini sedang dicari perempuan yang dapat membangun Bangsa.
Masih termarjinalkannya kaum perempuan tentu saja menjadi –pr besar bagi keberlangsungan kekuatan perempuan. Ukuran tersebut bias dilihat dari keberadaan perempuan di parlemen. Di DPR ada 30% perempuan, sesuai dengan UU Nomor 10/2008 serta UU Nomor 2/2008 tentang parpol untuk memenuhi kuota 30 % bagi perempuan dalam berpolitik.
Saya coba menyimpulkan pendapat Prof.Dr.Dewi Fortuna Anwar, bahwa pria dan wanita itu sama, dan Gap yang terjadi antara laki – laki dan perempuan sudah semakin sempit. Contoh, saat ini tamatan SMA, kebanyakan perempuan yang menjadi juara kelas. Maka diharapkan 10 tahun mendatang terjadi balance antara laki – laki dan perempuan. Pendapat Prof. Dr. Dewi, tentu saja memberikan spirit bahwa kekuatan perempuan suatu saat akan lahir. Sebab keberadan perempuan sebagai pembaharu yakni mengganjilkan dan menggenapkan sesuatu, bukan sebagai trouble maker. Akan tetapi, pada kenyataanya tetap saja perempuan masih dipandang sebelah mata.
Kebangkitan nasional dalam genggaman perempuan
20 Mei yang sedianya diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Sebaiknya dijadikan momentum kebangkitan perempuan. Jika dulu, 20 Mei 1908, Budi Oetomo menjadi embrio dari bangkitnya nasionalisme. Kemudian disempurnakan 20 tahun kemudian tepatnya, 28 Oktober 1928 lewat sumpah pemuda yang melahirkan,semangat nasionalisme. Dan Puncaknya saat proklamasi 17 Agustus 1945 yang mengakar kuat sebagai hari Kemerdekaan Indonesia.
Tidak ada salahnya, bagi perempuan untuk bangkit dari keterpurukan. Bahu – membahu dengan para lelaki untuk mengatasi masalah bangsa yang sudah berada di titik nadir. Dikutip dari (Saskia E.Wieranga,2010), Kaum perempuan maju ke depan lebih dulu daripada mahasiswa. Demonstrasi pertama mereka terhadap Soeharto dilakukan pada 23 Februari 1998 ketika mereka menuntut penyediaan bahan pangan yang mampu dibeli.(Indonesian Observer 8 Maret 1999).
Kutipan diatas adalah salah satu dari kekuatan perempuan yang sedianya diperjuangkan terus menerus demi menegakan kebenaran. Laki – laki dan perempuan Indonesia, saat ini menghadapi masalah bersama yakni: Korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang tidak layak. Dan sudah sepantasnya bersama – sama membangun bangsa Indonesia dengan semangat nasionalisme. Lepaskan atribut, Suku, Agama, Ras, Antar Golongan, dan ganti dengan atribut Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 alinea kedua berbunyi, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Harus dijadikan acuan bahwa ada cita – cita besar yang mesti diraih.
Maka, dengan perjuangan untuk menghancurkan berhala korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang tidak layak. Sesungguhnya Kita (Rakyat Indonesia) berhak mendapatkan kemakmuran yang seadil – adilnya dan berbahagia untuk satu tujuan kedaulatan Indonesia. Merdeka!*)
*)Penulis adalah mahasiswa Jurnallistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Semester IV.
0 comments:
Post a Comment